Artikel

1
10 Macam Karakter Guru Menuju Guru Profesional Sejati


Drs. Edy Siswanto,M.Pd, Kepala SMPN 1 Takeran Magetan



Add caption
Ketika alokasi dana pendidikan meningkat  menjadi 20%, sesuai dengan perubahan Undang Undang Dasar, maka banyak para pegawai lain iri terhadap profesi guru. Penulis menyadari terhadap mereka yang iri terhadap pekerjaan guru yang kelihatan begitu ringan dalam bekerja.
Ketika gaji guru hanya cukup untuk memenuhi standar hidup tidak banyak orang yang meliriknya, namun akhir-akhir ini banyak memandang profesi guru enak dan mudah serta gajinya banyak. Masuk jam tujuh pagi pulang sekitar jam 1 siang, bahkan ada yang sekitar jam 12 siang.
Sebenarnya semua pengawai negeri sipil bernasib sama. Untuk menjadi miskin tidak mungkin dan untuk menjadi kaya juga hanya dalam impian. Kaya jadi kenyataan kalau mempunyai penghasilan dari luar atau istilah kerennya bisnis.
Mari kita telusuri bagaimana sebenarnya kiprah guru itu. Jangan hanya tergiur dengan glamor luarnya saja, bahwa profesi guru itu mudah diucapkan namun sulit dan berat untuk dilaksanakan.
Ada beberapa tingkatan guru menuju profesionalis sejati, antara lain:
1.      Guru yang baik adalah guru yang berangkat pagi pulang siang. Tingkatan guru ini dari segi waktu sudah memenuhi standar kehadiran, karena mereka rajin masuk sesuai dengan standar pegawai negeri sipil.
2.      Tingkatan kedua adalah guru tingkatan pertama ditambah dengan peduli lingkungan. Karena peduli lingkungan baik fisik dan nonfisik, sehingga mereka nyaman dan kerasan di sekolah.
3.      Guru tingkatan ketiga adalah guru tingkatan ke dua ditambah dengan rajin pula masuk kelas. Guru tingkat ketiga ini dari segi fisik sudah sangat memenuhi. Dengan bekal rajin dan dapat berinteraksi dengan lingkungan sekolah, serta rutin masuk kelas, maka guru tingkat ini dari segi kasat mata merupakan idola tepat waktu dengan sebutan guru tertib.
4.      Guru tingkat keempat, ternyata tidak hanya rajin masuk kelas dan mengajar selesai pembelajaran, namun perlu kemampuan untuk berakting untuk memuaskan siswanya. Tuntutan guru ke empat ini harus mempunyai kemampuan untuk melaksanakan pembelajaran dengan menyenangkan, sehingga materi mudah dicerna oleh anak didik.
5.      Guru tingkat ke lima selain mempunyai kemampuan 1 sampai 4 harus mempunyai kemampuan sejauh mana kepedulian guru untuk memperhatikan perbedaan yang ada pada individu peserta didik, sehingga membuahkan bentuk pelayanan yang berbeda pula pada setiap individu peserta didik. Disinilah sentuhan emosional guru muncul. Pada tingkatan inilah jiwa profesi guru nampak jelas.
6.      Tingkat ke enam setelah mengetahui pribadi masing-masing anak atau karakteristik anak didik, guru bisa menanamkan ke lubuk hati yang dalam untuk selalu berjiwa besar, optimis meraih sukses masa depan?. Dengan bisikan jiwa serta nurani atau intuisi yang kuat dari dalam anak akan menimbulkan motivasi dan kebulatan tekad untuk mencapai cita-citanya sampai tuntas. Tingkatan ke enam ini guru sudah menyentuh kemapuan emosional dan spiritual anak. Pada tingkat ke enam ini profesi guru sudah mulai menyentuh dunia maya yang tidak bisa kita tentukan dengan akal dan teori. Beratnya guru kalau sudah bergesekan dengan nilai moral, akhlak, iman dan ketakwaan seseorang yang berporos pada intuisi dan kata hati serta bisikan jiwa.
7.      Tingkatan ke tujuh ini akan berdampak pada kemampuan anak bahwa hidup itu adalah tantangan. Sehingga tantangan atau problema adalah sebagai ujian hidup. Sehingga kalau sampai terjadi guru memberikan hukuman, anak malah akan bersyukur dan berterima kasih atas peringatan atau hukumannya. Contoh apabila guru melakukan ketegasan dalam menegakkan prinsip misalnya sampai mencubit, anak tidak merasa dendam bahkan malah berterima kasih maafkan anakmu ini yang berbuat salah. Seolah-olah peraturan itu ada dimana-mana walaupun tidak kemana-mana.
8.      Tingkatan ke delapan, guru semakin jauh jangkauan edukasinya sehingga sampai mengenal karakter lingkungan keluarganya. Kalau seorang guru sudah bisa bekerjasama dengan orang tua dalam mendidik anak, tidak ada kesempatan bagi anak untuk tidak berhasil dalam pembelajarnannya maupun masa depannya.
9.      Guru tingkat ke sembilan guru melibatkan masyarakat sekitar dan lintas sektoral dan stake holder untuk berkolaborasi dalam menetukan nasib anak generasi bangsa. Tingkat ke sembilan ini tugas guru terlalu berat. Dengan sisa waktu dari sekolah masih harus mengontrol dan mencuri tahu bagaimana perilaku anak didiknya baik dilingkungan keluarga juga  di masyarakat.
10.  Tingkatan ke sepuluh menyelamatkan anak didiknya sukses dunia dan akherat.Wah kalau ini mustahil..Wao..kalau ada yang berani angkat tangan..pasti banyak orang tua yang berani menitipkan anaknya dengan bayaran tinggi bahkan satu sampai 5 juta satu bulan  ok....hayo siapa beranai...
Dengan tingkatan tersebut, sebenarnya profesi guru dikategorikan sangat berat dan sangat sangatlah berat.
Pekerjaan guru tidak ada habisnya. Bisa sampai 24 jam. Bayangkan!..kalau ada anak didik yang nakal, beban pikiran sampai kerumah, bahkan bisa  makan hati. Maka kalau ada profesi lain iri dengan guru si umar bakri perlu dipertanyakan dimana letak kecemburuannya.
Mari kita bekerja yang ikhlas dibidangnya masing-masing untuk membina anak bangsa demi menyongsong generasi emas 2045. 


MELOGIKA SERTIFIKASI
DAN KONVERSI BEBAN MENGAJAR

Suharsini
SMP Negeri 1 Takeran, Magetan
Sertifikasi Terus Berjalan
            Sertifikasi guru merupakan proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar profesional guru. Guru profesional merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas. Sertifikasi guru bertujuan untuk (1)  menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, (2) meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan, (3) meningkatkan martabat guru, (4) meningkatkan profesionalitas guru (http://my.opera.com/pandejul/blog/2012/05/23)
Proses sertifikasi terus berjalan dan kini belum selesai. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) juga belum mengamanahkan untuk berhenti. Banyak guru yang telah merasakan mengikuti sertifikasi, tetapi masih banyak pula yang terus berharap seperti guru-guru yang lain. Harapan para guru itu tentu bermacam-macam, antara lain secara psikologis bisa segera dikatakan sebagai guru yang layak karena memegang sertifikat guru. Secara finansial, tentu berharap segera  ikut merasakan segar dan leganya menerima tunjangan profesi guru agar bisa hidup lebih layak juga.
Senyampang proses sertifikasi itu belum selesai dan terus digulirkan, maka  perlu terus dikaji tentang pelaksanaannya menuju pendidikan yang berkualitas dari guru yang bermutu. Memperhatikan tujuan sertifikasi guru yang begitu mulia, maka hendaknya syarat-syarat sertifikasi guru juga dikaji ulang agar mewadahi aspirasi para guru dan memiliki nuansa merata dan berkeadilan.

Melogika Sertifikasi
Pada saat ini masih dirasakan oleh sekelompok guru bahwa sertifikasi guru saat ini belum merata dan berkeadilan. Hasil wawancara dengan beberapa guru non-PNS menunjukkan bukti bahwa seolah ada diskriminasi  tentang syarat-syarat sertifikasi. Misalnya, guru tetap yayasan di sekolah swasta boleh mengikuti sertiifikasi, sedangkan guru non-PNS di sekolah negeri tidak boleh mengikuti sertifikasi. Pada hal syarat-syarat lainnya boleh dikatakan sama-sama telah memenuhinya.
            Kembali berpijak pada tujuan sertifikasi guru, maka seharusnya semua guru, baik guru PNS, guru non-PNS, dan guru tetap yayasan diperbolehkan mengikuti proses sertifikasi. Berbeda halnya dengan proses pencairan tunjangan profesi guru, maka sudah tentu harus ada syarat lain yang harus dipenuhi pula agar tunjangan tersebut bisa cair. Proses sertifikasi dan proses pencairan tunjangan profesi hendaknya dibedakan lebih tegas.
            Kenyataan saat ini guru non-PNS di lembaga pendidikan negeri meski telah memenuhi persyaratan, tetapi tidak bisa ikut sertifikasi guru, sedangkan Guru tetap yayasan di lembaga swasta malah boleh ikut sertfikasi. Bagaimana bisa dikatakan guru di lembaga pemerintah malah tidak mempunyai sertifikat pendidik sedangkan yang di swasta malah mempunyai, apakah kata orang tentang kualitas pendidikan di Indonesia? Apakah nantinya guru-guru GTT/non-PNS akan dilepas? Dilepas atau pun tidak karena saat ini mereka masih aktif mengajar dan telah memenuhi persyaratan untuk ikut sertifikasi, maka hak untuk sertifikasi mestinya tetap harus diberikan agar sertifikasi bernuansa merata dan keadilan.
Kini memang tersebar isu, bahwa GTT atau guru non-PNS nantinya akan mengikuti seleksi perekrutan PNS. Akan tetapi, apakah mereka semua akan masuk dalam PNS? Masuk PNS ataupun tidak masuk, mereka mempunyai hak untuk disertifikasi, karena memang telah memiliki pengalaman mengajar yang cukup lama. Sedikit beda dengan guru yang memang baru mengajar, mereka perlu pengalaman yang cukup untuk disertifikasi, atau bisa langsung mengikuti proses pendidikan sertifikasi.

Tuntutan beban mengajar 24 jam
Peraturan Menpan yang lama mengisyaratkan bahwa jumlah jam mengajar para guru mata pelajaran minimal 18 jam pelajaran, sedangkan peraturan Menpan yang baru dan dengan adanya sertifikasi guru maka jumlah jam mengajar minimal guru adalah 24 jam. Dengan ini pulalah, terasa bahwa hampir di seluruh sekolah di Indonesia kelebihan guru dan sulit menata untuk memperoleh 24 jam. Jika dulu 18 jam semua guru sudah menempati posisinya secara pas atau bahkan lebih, maka dengan 24 jam mengajar menjadikan beberapa guru malah tidak mempunyai jatah untuk mengajar.
Guru yang telah menerima sertifikat pendidik dan agar tunjangan profesinya bisa cair, maka mereka mesti memenuhi beban mengajar 24 jam pelajaran per minggu. Jumlah itu ada yang mengatakan wajar karena memperoleh hak tunjangan, maka harus memenuhi beban kewajibannya. Akan tetapi, ada yang mengatakan kurang wajar khususnya dari para guru SD dan SMP.
Kenyataan di lapangan tugas para guru bukanlah seperti tugas para robot yang hanya menyelesaikan tugas tertentu dengan tepat waktu. Guru bukanlah semata-mata mengajarkan mata pelajaran itu saja, dan yang lebih berharga adalah proses mendidik siswa menjadi manusia yang berakhlak budi sesuai dengan tuntunan agama dan harapan bangsa negara. Tugas ini, bagi guru yang memang profesional merupakan tugas berat dan penuh tantangan. Tugas ini bisa menjadi tugas nomor satu sedangkan, tugas mengajar adalah nomor dua. Sekadar contoh, jika ada suatu masalah yang dihadapi oleh para siswa, misalnya, perkelahian di sekolah, tentu guru yang profesional akan meninggalkan mengajarnya dan menyelesaikan lebih dahulu masalah siswanya. Termasuk unsur-unsur pendidikan karakter lainnya.
Di sisi lainnya, selain mengajar dan mendidik, guru-guru tertentu memiliki tugas yang sungguh berat bagi yang pernah terjun langsung di sekolah. Misalnya tugas sebagai urusan kurikulum, urusan kesiswaan, urusan sarana prasarana, urusan humas, wali kelas, koordinator ekstrakurikuler, dan lain-lain. Beberapa tugas tersebut di SMA atau SMK telah menyatu sebagai tugas wakil kepala sekolah bidang-bidang tertentu. Sehingga di SMA dan sederajat ada 3 – 5 wakil kepala sekolah, sedangkan di SMP hanya ada seorang wakil kepala sekolah saja.

Perlu konversi jam mengajar
Untuk menyikapi hal ini mungkin ada baiknya jika dipertimbangkan perlunya perubahan kebijakan tentang konversi jam pelajaran untuk tugas-tugas tambahan bagi guru. Misalnya:
No
Tugas tambahan
Usulan
Nilai
Keterangan
1
Wakil kepal sekolah
12

2
Kepala lab, perpustakaan, dll
12

3
Urusan Kurikulum
12
Di SMA urusan ini langsung menjadi wakil kepala sekolah
4
Urusan Kesiswaan
10
5
Urusan sarpras
8
6
Urusan Humas
6
7
Wali kelas
4
Tugas termasuk berat perlu dipertimbangkan
8
Koordinator Ekstrakurikuler
2

            Hal lain lagi yang perlu mendapat perhatian adalah guru tidak harus memenuhi 24 jam mengajar sesuai dengan basic mata pelajaran yang  disertifikasikan. Hal ini dengan pertimbangan bahwa guru itu seperti profesi dokter, tidak semua dokter adalah dokter spesialis, bahkan dokter spesialis juga bisa mengobati penyakit lain. Misalnya Guru SMP, SMA, SMK wajib mengajarkan 60% mata pelajaran fak/spesialisnya, 40% atau kurang bisa dipenuhi dengan mengajar mata pelajaran yang lain, atau tugas tambahan.
Jika setiap guru hanya boleh memenuhi 24 jam dengan mata pelajarannya sendiri, maka (1) apakah tidak ada penghargaan untuk guru yang mengajar pelajaran lain? (2) apakah sekolah yang tidak memiliki guru mata pelajaran tertentu mesti mencari guru lain lagi, pada hal gurunya sudah banyak? (3) apakah guru yang bukan fak mata pelajarannya diyakini tidak mampu menyampaikan? (4) padahal kenyataan di lapangan tidaklah demikian, banyak guru yang mampu menyajikan mata pelajaran lain dengan baik, bahkan bisa melebihi guru mata pelajaran yang aslinya.

Harapan dan Kesadaran
Pelaksanaan sertifikasi guru semakin profesional dari tahun ke tahun, diharapkan kualitas guru meningkat tajam, perkembangan anak didik maju pesat, bangsa Indonesia pun bangkit dari keterpurukannya. Guru yang telah lulus sertifikasi dapat dijadikan idola para siswa dalam proses pembelajaran karena memang terus berusaha untuk meningkatkan profesionalitas kerja. Mereka juga menjadi contoh bekerja bagi rekan-rekan guru yang belum sertifikasi. Jangan ada kesan sudah sertifikasi dan belum ‘kok tidak ada bedanya’, jangan ah.
Rohmani mengemukakan bahwa sertifikasi guru yang berlangsung saat ini belum sesuai dengan harapan undang-undang (UU), belum menyentuh tujuan dasar diadakannya sertifikasi guru tersebut (http://edukasi.kompas.com/read/2011)
Perlu juga disadari, bahwa peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru saat ini tidak serta merta mengubah seluruh wajah pendidikan saat ini pula. Sebagian memang mungkin akan segera dirasakan. Akan tetapi, kelayakan gaji dan kesejahteraan bagi guru sekarang akan menjadi pemicu bangkitnya profesi guru yang diidolakan dan diminati anak-anak yang memang cerdas dan berkualitas. Mereka tidak hanya ingin jadi insinyur, dokter, atau profesi lain dengan iming-iming gaji tinggi, tetapi profesi guru juga menjadikan hidup seseorang bisa lebih sejahtera dan menjamin majunya bangsa dan negara waktu mendatang.
Jika yang menjadi guru adalah anak-anak yang cerdas dan berkualitas besar kemungkinan mutu pendidikan akan terdongkrak. Apakah mutu pendidikan kita tertinggal karena para guru kita saat ini, karena kebanyakan mereka memilih profesi guru karena terpaksa. Dulu ingin masuk fakultas lain tidak diterima lalu masuk saja di IKIP atau FKIP? Bukan praduga dan prasangka. Secara logika, hal ini bisa saja dan besar kemungkinannya, tetapi tidak sedikit pula siswa-siswa yang cerdas dan berklak mulia, karena memang merasa tidak mempunyai biaya lalu memilih jalur cepat bisa bekerja. Ah, tak perlu berprasangka, semoga pendidikan di Indonesia segera bangkit, mengejar ketertinggalan  meraih keberhasilan.

Daftar Rujukan
Kompas.com. 2011. Sertifikasi Guru Belum Memuaskan. (http://edukasi.kompas.com diakses 19 Januari 2013)

Pande Kadek Juliana. 2012. Pengertian, Tujuan , Manfaat, dan Dasar Hukum Pelaksanaan Sertifikasi Guru. (http://my.opera.com/pandejul/blog/2012/05/23,  diakses 19 Januari 2013)

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD)
Wawancara dengan para GTT (guru non-PNS) di beberapa sekolah negeri.
 
Data Pelengkap Penulis
Nama  : Suharsini
Unit     : SMP Negeri 1 Takeran, Magetan (0351-3333772)
Alamat : Ds. Purworejo, Nguntoronadi, Magetan



0 komentar:

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com

Posting Komentar