10 Macam Karakter Guru Menuju Guru Profesional Sejati
Drs. Edy Siswanto,M.Pd, Kepala SMPN 1 Takeran Magetan |
Add caption |
Ketika
gaji guru hanya cukup untuk memenuhi standar hidup tidak banyak orang yang
meliriknya, namun akhir-akhir ini banyak memandang profesi guru enak dan mudah
serta gajinya banyak. Masuk jam tujuh pagi
pulang sekitar jam 1 siang, bahkan ada yang sekitar jam 12 siang.
Sebenarnya semua pengawai negeri sipil bernasib sama. Untuk
menjadi miskin tidak mungkin dan untuk menjadi kaya juga hanya dalam impian.
Kaya jadi kenyataan kalau mempunyai penghasilan dari luar atau istilah kerennya
bisnis.
Mari kita telusuri bagaimana sebenarnya kiprah guru itu. Jangan hanya tergiur
dengan glamor luarnya saja, bahwa profesi
guru itu mudah diucapkan namun sulit dan berat untuk dilaksanakan.
Ada beberapa tingkatan
guru menuju profesionalis sejati, antara lain:
1. Guru yang baik adalah
guru yang berangkat pagi pulang siang. Tingkatan guru ini dari segi waktu sudah
memenuhi standar kehadiran, karena mereka rajin masuk sesuai dengan
standar pegawai negeri sipil.
2. Tingkatan kedua
adalah guru tingkatan pertama ditambah dengan peduli lingkungan. Karena peduli
lingkungan baik fisik dan nonfisik, sehingga mereka nyaman dan kerasan di
sekolah.
3. Guru tingkatan ketiga
adalah guru tingkatan ke dua ditambah dengan rajin pula masuk kelas. Guru
tingkat ketiga ini dari segi fisik sudah sangat memenuhi. Dengan bekal rajin
dan dapat berinteraksi dengan lingkungan sekolah, serta rutin masuk kelas, maka
guru tingkat ini dari segi kasat mata merupakan idola tepat waktu dengan
sebutan guru tertib.
4. Guru tingkat keempat,
ternyata tidak hanya rajin masuk kelas dan mengajar selesai pembelajaran, namun
perlu kemampuan untuk berakting untuk memuaskan siswanya. Tuntutan guru ke
empat ini harus mempunyai kemampuan untuk melaksanakan pembelajaran dengan
menyenangkan, sehingga materi mudah dicerna oleh anak didik.
5. Guru tingkat ke lima
selain mempunyai kemampuan 1 sampai 4 harus mempunyai kemampuan sejauh mana
kepedulian guru untuk memperhatikan perbedaan yang ada pada individu peserta
didik, sehingga membuahkan bentuk pelayanan yang berbeda pula pada setiap
individu peserta didik. Disinilah sentuhan emosional guru muncul. Pada
tingkatan inilah jiwa profesi guru nampak jelas.
6. Tingkat ke enam
setelah mengetahui pribadi masing-masing anak atau karakteristik anak didik, guru bisa menanamkan ke lubuk hati yang dalam
untuk selalu berjiwa besar, optimis meraih sukses masa depan?. Dengan bisikan
jiwa serta nurani atau intuisi yang kuat dari dalam anak akan menimbulkan
motivasi dan kebulatan tekad untuk mencapai cita-citanya sampai tuntas.
Tingkatan ke enam ini guru sudah menyentuh kemapuan emosional dan spiritual
anak. Pada tingkat ke enam ini profesi guru sudah mulai menyentuh dunia maya
yang tidak bisa kita tentukan dengan akal dan teori. Beratnya guru kalau sudah
bergesekan dengan nilai moral,
akhlak, iman dan ketakwaan
seseorang yang berporos pada intuisi dan kata hati serta bisikan jiwa.
7. Tingkatan ke tujuh
ini akan berdampak pada kemampuan anak bahwa
hidup itu adalah tantangan. Sehingga tantangan
atau problema adalah sebagai ujian
hidup. Sehingga kalau
sampai terjadi guru memberikan hukuman, anak malah akan bersyukur dan berterima
kasih atas peringatan atau hukumannya. Contoh apabila guru melakukan ketegasan dalam menegakkan
prinsip misalnya sampai mencubit, anak tidak merasa dendam bahkan malah berterima
kasih
maafkan anakmu ini yang berbuat salah. Seolah-olah peraturan itu ada dimana-mana walaupun
tidak kemana-mana.
8. Tingkatan ke delapan,
guru semakin jauh jangkauan edukasinya sehingga sampai mengenal karakter
lingkungan keluarganya. Kalau seorang guru sudah bisa bekerjasama dengan orang
tua dalam mendidik anak, tidak ada kesempatan bagi anak untuk tidak berhasil
dalam pembelajarnannya maupun masa depannya.
9. Guru tingkat ke
sembilan guru melibatkan masyarakat sekitar dan lintas sektoral dan stake
holder untuk berkolaborasi dalam menetukan nasib anak generasi bangsa. Tingkat
ke sembilan ini tugas guru terlalu berat. Dengan sisa waktu dari sekolah masih
harus mengontrol dan mencuri tahu bagaimana perilaku anak didiknya baik dilingkungan keluarga
juga di masyarakat.
10. Tingkatan
ke sepuluh menyelamatkan anak didiknya sukses dunia dan akherat.Wah kalau ini mustahil..Wao..kalau
ada yang berani angkat tangan..pasti banyak orang tua yang berani menitipkan
anaknya dengan bayaran tinggi bahkan satu sampai 5 juta satu bulan ok....hayo siapa beranai...
Dengan
tingkatan tersebut, sebenarnya profesi guru dikategorikan sangat berat dan sangat sangatlah berat.
Pekerjaan guru tidak ada habisnya. Bisa sampai
24 jam. Bayangkan!..kalau ada anak didik yang nakal, beban pikiran sampai kerumah, bahkan bisa makan
hati. Maka kalau ada profesi lain iri dengan guru si umar bakri perlu dipertanyakan
dimana letak kecemburuannya.
Mari kita bekerja yang
ikhlas dibidangnya masing-masing untuk membina anak bangsa demi menyongsong
generasi emas 2045.
MELOGIKA SERTIFIKASI
DAN KONVERSI BEBAN MENGAJAR
Suharsini
SMP
Negeri 1 Takeran, Magetan
Sertifikasi
Terus Berjalan
Sertifikasi guru merupakan proses
pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikat pendidik diberikan kepada
guru yang telah memenuhi standar profesional guru. Guru profesional merupakan
syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas.
Sertifikasi guru bertujuan untuk (1)
menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen
pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, (2) meningkatkan proses
dan mutu hasil pendidikan, (3) meningkatkan martabat guru, (4) meningkatkan
profesionalitas guru (http://my.opera.com/pandejul/blog/2012/05/23)
Proses sertifikasi terus berjalan dan kini belum selesai. Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) juga belum mengamanahkan
untuk berhenti. Banyak guru yang telah merasakan mengikuti sertifikasi, tetapi
masih banyak pula yang terus berharap seperti guru-guru yang lain. Harapan para
guru itu tentu bermacam-macam, antara lain secara psikologis bisa segera
dikatakan sebagai guru yang layak karena memegang sertifikat guru. Secara
finansial, tentu berharap segera ikut
merasakan segar dan leganya menerima tunjangan profesi guru agar bisa hidup
lebih layak juga.
Senyampang proses sertifikasi itu belum selesai dan terus
digulirkan, maka perlu terus dikaji
tentang pelaksanaannya menuju pendidikan yang berkualitas dari guru yang
bermutu. Memperhatikan tujuan sertifikasi guru yang begitu mulia, maka
hendaknya syarat-syarat sertifikasi guru juga dikaji ulang agar mewadahi
aspirasi para guru dan memiliki nuansa merata dan berkeadilan.
Melogika
Sertifikasi
Pada saat ini masih dirasakan oleh sekelompok guru bahwa sertifikasi
guru saat ini belum merata dan berkeadilan. Hasil wawancara dengan beberapa
guru non-PNS menunjukkan bukti bahwa seolah ada diskriminasi tentang syarat-syarat sertifikasi. Misalnya,
guru tetap yayasan di sekolah swasta boleh mengikuti sertiifikasi, sedangkan
guru non-PNS di sekolah negeri tidak boleh mengikuti sertifikasi. Pada hal
syarat-syarat lainnya boleh dikatakan sama-sama telah memenuhinya.
Kembali berpijak pada tujuan
sertifikasi guru, maka seharusnya semua guru, baik guru PNS, guru non-PNS, dan
guru tetap yayasan diperbolehkan mengikuti proses sertifikasi. Berbeda halnya
dengan proses pencairan tunjangan profesi guru, maka sudah tentu harus ada
syarat lain yang harus dipenuhi pula agar tunjangan tersebut bisa cair. Proses
sertifikasi dan proses pencairan tunjangan profesi hendaknya dibedakan lebih
tegas.
Kenyataan saat ini guru non-PNS di
lembaga pendidikan negeri meski telah memenuhi persyaratan, tetapi tidak bisa
ikut sertifikasi guru, sedangkan Guru tetap yayasan di lembaga swasta malah
boleh ikut sertfikasi. Bagaimana bisa dikatakan guru di lembaga pemerintah
malah tidak mempunyai sertifikat pendidik sedangkan yang di swasta malah
mempunyai, apakah kata orang tentang kualitas pendidikan di Indonesia? Apakah
nantinya guru-guru GTT/non-PNS akan dilepas? Dilepas atau pun tidak karena saat
ini mereka masih aktif mengajar dan telah memenuhi persyaratan untuk ikut
sertifikasi, maka hak untuk sertifikasi mestinya tetap harus diberikan agar sertifikasi
bernuansa merata dan keadilan.
Kini memang tersebar isu, bahwa GTT atau guru non-PNS nantinya akan
mengikuti seleksi perekrutan PNS. Akan tetapi, apakah mereka semua akan masuk
dalam PNS? Masuk PNS ataupun tidak masuk, mereka mempunyai hak untuk
disertifikasi, karena memang telah memiliki pengalaman mengajar yang cukup lama.
Sedikit beda dengan guru yang memang baru mengajar, mereka perlu pengalaman
yang cukup untuk disertifikasi, atau bisa langsung mengikuti proses pendidikan
sertifikasi.
Tuntutan
beban mengajar 24 jam
Peraturan Menpan yang lama mengisyaratkan bahwa jumlah jam mengajar
para guru mata pelajaran minimal 18 jam pelajaran, sedangkan peraturan Menpan
yang baru dan dengan adanya sertifikasi guru maka jumlah jam mengajar minimal
guru adalah 24 jam. Dengan ini pulalah, terasa bahwa hampir di seluruh sekolah
di Indonesia kelebihan guru dan sulit menata untuk memperoleh 24 jam. Jika dulu
18 jam semua guru sudah menempati posisinya secara pas atau bahkan lebih, maka
dengan 24 jam mengajar menjadikan beberapa guru malah tidak mempunyai jatah
untuk mengajar.
Guru yang telah menerima sertifikat pendidik dan agar tunjangan
profesinya bisa cair, maka mereka mesti memenuhi beban mengajar 24 jam
pelajaran per minggu. Jumlah itu ada yang mengatakan wajar karena memperoleh
hak tunjangan, maka harus memenuhi beban kewajibannya. Akan tetapi, ada yang
mengatakan kurang wajar khususnya dari para guru SD dan SMP.
Kenyataan di lapangan tugas para guru bukanlah seperti tugas para
robot yang hanya menyelesaikan tugas tertentu dengan tepat waktu. Guru bukanlah
semata-mata mengajarkan mata pelajaran itu saja, dan yang lebih berharga adalah
proses mendidik siswa menjadi manusia yang berakhlak budi sesuai dengan
tuntunan agama dan harapan bangsa negara. Tugas ini, bagi guru yang memang
profesional merupakan tugas berat dan penuh tantangan. Tugas ini bisa menjadi
tugas nomor satu sedangkan, tugas mengajar adalah nomor dua. Sekadar contoh,
jika ada suatu masalah yang dihadapi oleh para siswa, misalnya, perkelahian di
sekolah, tentu guru yang profesional akan meninggalkan mengajarnya dan menyelesaikan
lebih dahulu masalah siswanya. Termasuk unsur-unsur pendidikan karakter
lainnya.
Di sisi lainnya, selain mengajar dan mendidik, guru-guru tertentu
memiliki tugas yang sungguh berat bagi yang pernah terjun langsung di sekolah.
Misalnya tugas sebagai urusan kurikulum, urusan kesiswaan, urusan sarana
prasarana, urusan humas, wali kelas, koordinator ekstrakurikuler, dan
lain-lain. Beberapa tugas tersebut di SMA atau SMK telah menyatu sebagai tugas
wakil kepala sekolah bidang-bidang tertentu. Sehingga di SMA dan sederajat ada
3 – 5 wakil kepala sekolah, sedangkan di SMP hanya ada seorang wakil kepala
sekolah saja.
Perlu
konversi jam mengajar
Untuk menyikapi hal ini mungkin ada baiknya jika dipertimbangkan
perlunya perubahan kebijakan tentang konversi jam pelajaran untuk tugas-tugas
tambahan bagi guru. Misalnya:
No
|
Tugas tambahan
|
Usulan
Nilai
|
Keterangan
|
1
|
Wakil kepal sekolah
|
12
|
|
2
|
Kepala lab, perpustakaan, dll
|
12
|
|
3
|
Urusan Kurikulum
|
12
|
Di SMA urusan ini langsung menjadi wakil
kepala sekolah
|
4
|
Urusan Kesiswaan
|
10
|
|
5
|
Urusan sarpras
|
8
|
|
6
|
Urusan Humas
|
6
|
|
7
|
Wali kelas
|
4
|
Tugas termasuk berat perlu
dipertimbangkan
|
8
|
Koordinator Ekstrakurikuler
|
2
|
Hal lain
lagi yang perlu mendapat perhatian adalah guru tidak harus memenuhi 24 jam
mengajar sesuai dengan basic mata pelajaran yang disertifikasikan.
Hal ini dengan pertimbangan bahwa guru itu seperti profesi dokter, tidak semua
dokter adalah dokter spesialis, bahkan dokter spesialis juga bisa mengobati
penyakit lain. Misalnya Guru SMP, SMA, SMK wajib mengajarkan 60% mata pelajaran
fak/spesialisnya, 40% atau kurang bisa dipenuhi dengan mengajar mata pelajaran
yang lain, atau tugas tambahan.
Jika setiap guru hanya boleh memenuhi 24 jam dengan mata
pelajarannya sendiri, maka (1) apakah tidak ada penghargaan untuk guru yang
mengajar pelajaran lain? (2) apakah sekolah yang tidak memiliki guru mata
pelajaran tertentu mesti mencari guru lain lagi, pada hal gurunya sudah banyak?
(3) apakah guru yang bukan fak mata pelajarannya diyakini tidak mampu
menyampaikan? (4) padahal kenyataan di lapangan tidaklah demikian, banyak guru
yang mampu menyajikan mata pelajaran lain dengan baik, bahkan bisa melebihi
guru mata pelajaran yang aslinya.
Harapan dan
Kesadaran
Pelaksanaan sertifikasi guru semakin profesional dari tahun ke tahun,
diharapkan kualitas guru meningkat tajam, perkembangan anak didik maju pesat,
bangsa Indonesia pun bangkit dari keterpurukannya. Guru yang telah lulus
sertifikasi dapat dijadikan idola para siswa dalam proses pembelajaran karena
memang terus berusaha untuk meningkatkan profesionalitas kerja. Mereka juga
menjadi contoh bekerja bagi rekan-rekan guru yang belum sertifikasi. Jangan ada
kesan sudah sertifikasi dan belum ‘kok tidak ada bedanya’, jangan ah.
Rohmani mengemukakan bahwa sertifikasi guru yang berlangsung saat
ini belum sesuai dengan harapan undang-undang (UU), belum menyentuh tujuan
dasar diadakannya sertifikasi guru tersebut (http://edukasi.kompas.com/read/2011)
Perlu juga disadari, bahwa peningkatan kualitas dan kesejahteraan
guru saat ini tidak serta merta mengubah seluruh wajah pendidikan saat ini
pula. Sebagian memang mungkin akan segera dirasakan. Akan tetapi, kelayakan
gaji dan kesejahteraan bagi guru sekarang akan menjadi pemicu bangkitnya
profesi guru yang diidolakan dan diminati anak-anak yang memang cerdas dan
berkualitas. Mereka tidak hanya ingin jadi insinyur, dokter, atau profesi lain
dengan iming-iming gaji tinggi, tetapi profesi guru juga menjadikan
hidup seseorang bisa lebih sejahtera dan menjamin majunya bangsa dan negara
waktu mendatang.
Jika yang menjadi guru adalah anak-anak yang cerdas dan berkualitas
besar kemungkinan mutu pendidikan akan terdongkrak. Apakah mutu pendidikan kita
tertinggal karena para guru kita saat ini, karena kebanyakan mereka memilih
profesi guru karena terpaksa. Dulu ingin masuk fakultas lain tidak diterima
lalu masuk saja di IKIP atau FKIP? Bukan praduga dan prasangka. Secara logika,
hal ini bisa saja dan besar kemungkinannya, tetapi tidak sedikit pula
siswa-siswa yang cerdas dan berklak mulia, karena memang merasa tidak mempunyai
biaya lalu memilih jalur cepat bisa bekerja. Ah, tak perlu berprasangka, semoga
pendidikan di Indonesia segera bangkit, mengejar ketertinggalan meraih keberhasilan.
Daftar Rujukan
Kompas.com. 2011. Sertifikasi Guru Belum Memuaskan. (http://edukasi.kompas.com diakses 19
Januari 2013)
Pande Kadek Juliana. 2012. Pengertian, Tujuan , Manfaat, dan Dasar Hukum Pelaksanaan Sertifikasi Guru. (http://my.opera.com/pandejul/blog/2012/05/23, diakses 19 Januari 2013)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen (UUGD)
Wawancara dengan para GTT (guru non-PNS) di
beberapa sekolah negeri.
Data
Pelengkap Penulis
Nama : Suharsini
Unit : SMP Negeri 1 Takeran, Magetan (0351-3333772)
Alamat : Ds. Purworejo, Nguntoronadi, Magetan
Email : putihcempaka@rocketmail.com
0 komentar:
Posting Komentar